Selasa, 07 November 2006

IHYA ATTUROTS, BONEKA ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ

IHYA ATTUROTS, BONEKA ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

الميراث من فتاوى العلماء عن جمعية إحياء التراث 5

SERI KE-5 : IHYA ATTUROTS, BONEKA ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ

Pada akhir pembahasan lalu, kami telah menjelaskan tentang ketidakpahaman dan kecerobohan Al-Akh Firanda dan yang bersamanya - waffaqonallahu wa iyyahum lima yuhibbu wa yardha – walaupun ia berusaha mentarjih permasalahan ini. Sayangnya ia seorang pentarjih yang kosong dari dalil, misalnya menganggap sebagian yang mentahdzir tidak termasuk jajaran ulama paling senior atau berdalil dengan naluri yang biasanya dilakukan oleh kaum shufiyyah dan yang lainnya. Juga kami membawakan tentang istilah fiqhul waqi' yang dimaksudkan oleh para hizbiyyin semisal Abdurrahman AbdulKhaliq, mufti Organisasi Ihya At Turats.

Maka pada edisi kali ini, kita akan menjelaskan perbedaan antara istilah "fiqhul waqi'" buatan kaum hizbi, dengan kaidah "yang memiliki ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak memilikinya", lalu kita akan menjelaskan pula beberapa penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengaruhnya terhadap perpecahan yang ada di berbagai negara secara umum serta di Indonesia secara khusus. Maka dengan mengharapkan pertolongan dan taufiq dari Allah, saya mengatakan:

DEFENISI FIQHUL WAQI' MENURUT PARA ULAMA
Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan "fiqhul waqi' menurut istilah mereka, dalam beberapa kaset dari "Silsilah Al-Huda wan-Nuur", diantara fatwa beliau tersebut ada yang sudah ditranskrip.Diantaranya yang ditranskrip oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafidzahullah Ta'ala dengan judul "Su'al wa jawab haula fiqhil waqi'" (Tanya jawab seputar fiqhul waqi'), yang dari penjelasan tersebut ada beberapa kesimpulan penting terkait dengan fiqhul waqi' tersebut sebagai berikut :
1- Istilah Fiqhul Waqi' adalah nama yang mereka ada-adakan.
2- Bila ilmu ini dipahami berdasarkan tinjauan syari'at, maka keadaannya sama dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama yang berbunyi "menghukumi sesuatu merupakan bagian dari penggambarannya" (الحكم على الشيء فرع عن تصوره), dan itu dapat dilakukan dengan mengetahui realitanya. Maka fiqhul waqi' yang benar adalah mengetahui keadaan kaum muslimin atau makar dari musuh-musuhnya untuk memberi peringatan darinya, bukan sekedar teori semata, namun hendaknya berbentuk realita.
3- Sebagian para pemuda Islam terbagi dua dalam menyikapi "fiqhul waqi’", ada yang berlebih-lebihan yang mengangkat ilmu ini di atas kedudukan yang semestinya serta menghendaki agar setiap ‘alim harus mengetahui fiqhul waqi’ menurut versi mereka.Sebaliknya ada pula yang mengesankan bahwa orang yang lebih mengerti realita yang terjadi di dunia, maka dia adalah orang yang faqih terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan Manhaj Salaf. Padahal hal tersebut tidak mesti demikian.
4- Tidak mungkin ada orang sempurna yang dapat mengetahui semua realita yang terjadi, sehingga yang wajib adalah bekerja-sama antara mereka yang mengerti realita, lantas mereka menerangkan gambarannya kepada ulama dan para mufti, lalu para ulama’-lah yang menjelaskannya dari sisi hukum syar'i yang dibangun di atas dalil yang shahih.
5- Adapun mendudukkan orang yang mengerti realita tersebut sebagai ‘alim dan mufti, hanya karena dia mengerti tentang "fiqhul waqi’", maka tidak terdapat sisi pembenaran sama sekali, yang dengan ucapannya dapat membantah fatwa para ulama, dan membatalkan ijtihad dan hukum yang mereka tetapkan.
6- Berlebihan dalam mementingkan urusan "fiqhul waqi'" sehingga menjadikannya sebagai manhaj bagi para da'i dan para pemuda, lalu mereka mendidik dan terdidik dengannya serta menyangka bahwa itu merupakan jalan keselamatan: adalah kesalahan fatal dan kekeliruan yang jelas.
7- Penyakit yang menimpa kaum muslimin pada hari ini bukan disebabkan kejahilan mereka terhadap ilmu yang disebut "fiqhul waqi'" ini, namun sebabnya adalah karena mereka menelantarkan dalam mengamalkan hukum-hukum agama, berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
8- Terlalu mementingkan fiqhul waqi' yang hukumnya fardhu kifayah (dengan tinjauan syar'i) dan kurang mementingkan urusan yang lebih penting yang hukumnya fardhu 'ain, yaitu mempelajari Al-Qur'an dan As Sunnah: adalah menelantarkan dan mengabaikan apa yang menjadi kewajiban bagi setiap individu umat Islam.
9- Wajib untuk bersikap "pertengahan" dalam mengajak kaum muslimin untuk mengenal "fiqhul waqi’" dan tidak menenggelamkan mereka untuk menyibukkan diri dalam mengetahui berbagai berita politik, berbagai analisa dari para pemikir Barat. Namun yang wajib adalah selalu menyuarakan seputar pentingnya menjernihkan Islam dari berbagai noda, dan mendidik kaum muslimin agar berada di atas Islam yang jernih dan murni.
10- Adapun mencela sebagian ulama dan penuntut ilmu , dan menuduh mereka tidak mengerti fiqhul waqi' dan menuduh mereka dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan: adalah kesalahan dan kekeliruan yang jelas.
Inilah sepuluh poin yang dapat saya simpulkan dari apa yang disebutkan oleh beliau rahimahullah Ta'ala. (selengkapnya silahkan merujuk langsung ke risalah tersebut).

Demikian pula Syaikhuna Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah Ta'ala menyebutkan fiqhul waqi' model hizbiyyun, setelah beliau menjelaskan fiqhul waqi' yang syar'i adalah memahami Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Lalu beliau berkata:
وقد ظن بعض المغفلين أن فقه الواقع أن تعرف كم شوارع باريس، وكم شوارع القاهرة، وكم شوارع أمريكا، وإذا لم تعرف الجغرافيا فما عرفت فقه الواقع. فاعلم الناس بفقه الواقع هم أهل السنة وعلى رأسهم الشيخ ابن باز والشيخ الألباني - حفظهما الله -. فأما فقه الواقع أن نصرف شبابنا إلى قراءة الجرائد والمحلات، وإلى استماع الإذاعات - ولسنا نحرم على الناس شيئًا أحله الله لهم - لكن أن نصرف الشباب الذين يصلحون لطلب العلم، نصرفهم إلى التمثيليات ، فالذي لا يمثل ما عرف الواقع، والذي ما عرف النشيد ما عرف الواقع، والذي ما عرف أن البشير هذا أحسن حكام المسلمين ما فقه الواقع، والذي لا يعرف أن الخميني إمام المسلمين ما فقه الواقع، والذي ما يعرف أن ضياء الحق كان رجلاً إصلاحيًا ما فقه الواقع، وضياء الحق هذا كان إسلاميًا بالقول، وأمريكيًا بالفعل - ولست أكفره -

"Sebagian orang-orang yang lalai menyangka bahwa fiqhul waqi' adalah engkau mengetahui berapa banyak jalan yang ada di kota Paris, berapa banyak jalan di Kairo. Jika engkau tidak mengetahui Geografi, maka engkau tidak mengerti fiqhul waqi'. Maka manusia yang mengerti tentang fiqhul waqi' (berdasarkan tinjauan syar'I, pen) adalah Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani hafidzahumallah (rahimahumallah, pen). Adapun fiqhul waqi' yang maksudnya kami memalingkan para pemuda agar membaca koran-koran dan majalah-majalah, dan mendengarkan berbagai siaran radio –walaupun kami tidak mengharamkan sesuatu kepada manusia apa yang dihalalkan oleh Allah untuk mereka- . Akan tetapi kami memalingkan para pemuda yang punya kemampuan untuk menuntut ilmu, kami memalingkan darinya untuk memeriahkan acara teater, (kami memalingkan dari pendapat) yang tidak mengikuti acara teater berarti dia tidak mengerti fiqhul waqi', yang tidak mengenal nasyid berarti dia tidak mengetahui fiqhul waqi', yang tidak mengetahui bahwa "Basyir" adalah pemerintah muslimin yang paling baik, yang tidak mengetahui bahwa Khomeini adalah imamnya kaum muslimin, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi', yang tidak mengetahui bahwa Dhiya' Al-Haq adalah seorang yang melakukan perbaikan, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi' - dan Dhiya'ul Haq ucapannya menunjukkan Islam, namun perbuatannya menunjukkan dia seperti orang Amerika, dan saya tidak mengafirkannya-." (Dikutip dari kitab Fadhaih wa Nasha'ih: 109).

Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta'ala:
قال العلامة الفوزان رحمه الله تعالى:( وأما الاشتغال بواقع العصر كما يقولون أو "فقه الواقع" فهذا إنما يكون بعد العلم الشرعي, إذ الإنسان بالفقه الشرعي ينظر إلى واقع العصر.وما يدور في العالم, وما يأتي من أفكار ومن آراء, ويعرشها على العلم الشرعي الصحيح ليميز خيرها من شرها , وبدون العلم الشرعي فإنه لا يميز الحق والباطل والهدى والضلال, فالذي يشتغل بادئ ذي بدء بالأمور الثقافية والأمور الصحافية والأمور السياسية وليس عنده بصيرة من دينه, فإنه يضل بهذه الأمور, لأن أكثر ما يدور فيها ضلال ودعاية للباطل, وزخرف من القول وغرور, نسأل الله العافية والسلامة.(الأجوبة المفيدة عن الأسئلة المناهج الجديدة: 99)

"Adapun menyibukkan diri dengan kenyataan di masa kini, seperti yang mereka katakan "fiqhul waqi’", maka ini bisa (dipelajari) setelah (mempelajari) ilmu syar'i. Sebab seseorang dengan fiqih yang syar'i dapat melihat kondisi masa kini dan apa yang terjadi di alam ini, juga apa yang muncul dari berbagai pemikiran dan pendapat dibangun di atas ilmu syar'i yang benar, agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Akan tetapi tanpa ilmu syar'i, maka tidak mungkin dapat dibedakan antara yang haq dan yang batil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Maka orang yang awal pijakannya dengan menyibukkan diri dengan pengetahuan umum, urusan berita koran, perkara politik, sementara ia tidak memiliki ilmu dalam agamanya, maka dia akan menjadi sesat dengan perkara-perkara ini. Sebab kebanyakan apa yang terdapat padanya adalah kesesatan dan propaganda yang batil, dan ucapan yang ‘manis’ dan menipu, kami memohon kepada Allah pemeliharaan dan keselamatan. (Dikutip dari kitab Al-Ajwibah al-Mufidah : 99).

Saya kira apa yang saya nukilkan dari keterangan para Ulama tentang istilah "fiqhul waqi" yang diinginkan oleh hizbiyyun cukup jelas, yang intinya adalah tujuan mereka dalam menggembar-gemborkan fiqih buatan hizbiyyun ini adalah:

* Hendak menjauhkan para pemuda Islam dari mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menyibukkan diri dengan berita koran dan majalah, dan yang semisalnya.
* Menjadikan "fiqhul waqi’" sebagai jembatan untuk merendahkan kedudukan para ulama, sehingga umat tidak lagi menjadikan mereka sebagai panutan dan tempat mengembalikan berbagai problem yang sedang mereka alami. Sehingga pada saat mereka berfatwa dalam suatu permasalahan, terkhusus masalah yang bersifat kontemporer, maka dengan serta-merta mereka menjawab : "Ulama itu bidangnya hanya dalam masalah haid dan nifas saja", atau "dia-kan bukan ulama mujahid…", atau yang semisalnya.
* Menjauhkan para pemuda Islam dari manhaj Salafus Shalih yang lebih mengutamakan urusan "At-Tashfiyah wat-Tarbiyah". - Menjadikan fiqih ini sebagai jembatan untuk melegitimasi sebagian apa-apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam.

Maka hal ini telah jelas, sungguh sangat jauh berbeda dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama, "menghukumi sesuatu adalah cabang dari penggambarannya", juga kaidah, "yang mengetahui suatu ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak mengetahuinya." Sebab bukanlah diantara persyaratan sebagai seorang mujtahid atau mufti adalah mengetahui segala sesutu yang terjadi di dunia, atau dengan ungkapan lain, harus mengetahui sesuatu yang "sangat terkenal kiprahnya dan diketahui oleh banyak orang". Jangankan seperti Syaikh Bin Baaz, atau Ibnu Utsaimin, atau yang lainnya dari kalangan para ulama –rahimahumullah-, bahkan setingkat Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam sekalipun - yang memiliki kerajaan yang luas yang meliputi jin, manusia dan hewan-, sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata". Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). (QS.An-Naml:16-17)

Namun kerajaan yang demikian luas yang beliau miliki, ternyata beliau tidak mengetahui sebuah kerajaan yang "sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang", sementara seekor burung Hud-hud yang kecil, yang tentunya jauh lebih rendah kedudukannya dibanding Nabi Sulaiman Alaihis salaam, justru memiliki "fiqhul waqi'" tentang kerajaan tersebut. Allah Ta'ala mengkisahkan tentang percakapan antara Nabi Sulaiman dengan burung dalam firman-Nya:
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِين ٍفَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ وَجَدتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِن دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

"Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang". Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai 'Arsy yang besar". Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. (QS.An-Naml:20-27)

Adapun yang menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman tidak mengetahui kerajaan tersebut dari dua perkara:
Pertama: ucapan Hud-hud: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”.
Kedua: Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang ingin membuktikan kebenaran apa yang diucapkan Hud-hud. Padahal bukankah ia punya sebuah kerajaan, yang tentunya sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang? Apakah ayat ini tidak cukup bukti bagi orang-orang yang mau berfikir, dan tidak mengekang dirinya dengan sikap ta'ashub dan fanatik buta tanpa hujjah?

Bila hal ini telah jelas, maka butuh adanya kerjasama (ta'awun) antara mustafti (yang meminta fatwa, atau yang bertanya) dengan mufti (yang berfatwa), kewajiban bagi mustafti adalah menjelaskan dari berbagai sisi gambaran permasalahan yang akan ditanyakan- baik positif maupun negatif - sehingga sesuatu yang ditanya tersebut dapat tergambar dengan jelas bagi seorang mufti. Sebab penggambaran yang keliru dapat menyebabkan fatwa yang keliru, bukan berasal dari keteledoran seorang mujtahid dalam menjawab, namun disebabkan kesalahan si penanya dalam menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Dengan demikian, apa yang diucapkan oleh Al-Akh Firanda: "Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada", ini adalah kesalahan dan kecerobohan yang sangat fatal.

Pengaruh "fiqhul waqi’" terhadap mufti Organisasi Ihya At Turats, Abdurrahman Abdul Khaliq

Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti organisasi Ihya At Turats yang sangat membanggakan "fiqhul waqi’"-nya, yang menyebabkan ia melecehkan para ulama Ahlus Sunnah wal-jama'ah, bahkan melecehkan sebagian para masyaikh dari guru-gurunya yang pernah mengajarnya sewaktu dia masih belajar di Jami'ah Islamiyyah. Ia berkata: "Sepantasnya kita memahami bahwa muslim yang hakiki adalah yang hidup dengan keyakinannya dan hidup di masanya, bukan hidup di luar jamannya. Orang yang hidup di luar jamannya - dan hidup hanya dengan pemikiran dan penanya - adalah orang muslim. Namun dengan kondisi yang ada dan dakwahnya, dia bukan muslim. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai." (Jama'ah Wahidah, Syaikh Rabi':33)

Ia juga mengatakan : "Sesungguhnya kami menghendaki ulama yang setingkat masa kini, ilmunya, pengetahuannya, adabnya, akhlaqnya, keberaniannya, perjuangannya, memahami berbagai makar dan tipu- daya terhadap Islam. Dan kami tidak menginginkan adanya antrian dari para ulama yang dikekang yang hidup dengan jasadnya di masa kini, namun ia hidup dengan akal dan fatwanya bukan pada jaman kita........".

Lalu ia melanjutkan:"…agar ucapanku yang terdahulu tidak dipahami sebagaimana mestinya, maka saya akan memberi contoh nyata yang saya saksikan sendiri - dan itu bukan contoh satu-satunya bagiku- : dahulu ada seorang alim yang mulia yang pernah mengajari kami tafsir dan ushul fiqih . Benar-benar dia adalah seorang alim, dia tidak menyebut satu ayat dari Kitabullah hingga ia menjelaskan pertama kali adalah lafadz-lafadznya ditinjau dari bahasa, dengan mengambil dukungan puluhan bait-bait sya'ir hanya untuk satu lafadz. Lantas ia menjelaskan pengertian kata-katanya, kemudian maknanya secara umum, kemudian penafsiran Salaf terhadapnya, dengan berdalil dengan hadits-hadits dan atsar. Kemudian apa yang diambil dari faedah berupa hukum-hukum fiqih, lalu apa yang bisa dikeluarkan darinya berupa kaidah-kaidah ushul, kemudian ia menjelaskan apa yang serupa dengannya dari ayat-ayat yang lain dalam Kitabullah. Ia menyebut semua itu dalam keadaan engkau terkagum melihat keluasan ilmu dan penelitiannya. Namun orang ini tidaklah sesuai sedikitpun dengan level jamannya, Dia tidak mampu menjangkau syubhat yang dimunculkan seorang musuh - dari musuh-musuh Allah- dan bahkan tidak punya kesiapan sama sekali untuk mendengar syubhat ini. Dan dia menyerang hakekat ilmu alam, dia menuduh orang-orang yang membolehkan pendaratan di bulan dengan kekufuran dan zindiq ."Lalu ia berkata: "Adalah orang ini - yang mataku tidak pernah melihat orang yang paling berilmu terhadap Kitabullah darinya- , ia bagaikan perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang membutuhkan adanya koreksi dan revisi. Ini sekedar contoh, dan ada pula yang selain dia mengajar puluhan mata pelajaran dalam ilmu syari'at dengan level ini, namun bodoh terhadap kehidupan dan berilmu tentang agama." (Jama'ah Wahidah, Syaikh Rabi':49-51. Syaikh Nashir Al-Faqihi tatkala memberi kata sambutan terhadap kitab Syaikh Rabi' dalam muqaddimah kitabnya: An-Nashr Al-Aziz, beliau pun menukil kembali ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq yang saya sebutkan di atas, yang menunjukkan kebenaran penukilan ucapan tersebut dari Abdurrahman Abdul Khaliq)

Dan dia juga mengatakan:"Para ulama kami yang mulia - mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang organisasi-organisasi rahasia milik musuh-musuh (Islam), dan mereka tidak tahu banyak tentang gerakan dan taktik mereka. Mereka tidaklah mempelajari syubhat musuh-musuh dan makar mereka, mereka sama sekali tidaklah pantas untuk membantah makar musuh-musuh mereka. Bahkan mereka tidak mampu membebaskan para pemuda umat ini dari kerusakan, kekufuran yang dimurkai ini."(Khutut Ra'isiyyah, dikutip dari kitab Jama'ah Wahidah: 53).

Ini adalah sebagian kecil dari penukilan ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq tentang fiqhul waqi', barangsiapa yang ingin melengkapi pengetahuannya, silahkan merujuk Kitab "Jama'ah Wahidah" dan kitab "An-Nashr Al-Aziz" yang keduanya ditulis oleh Syaikh Rabi' hafidzahullah Ta'ala. Saya tidak ingin menyebutkan bantahan terhadap ucapan ini, namun saya hanya menukilnya untuk diketahui oleh para pembaca, bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq adalah salah satu dari "faqih al-waqi'" yang merendahkan kedudukan para ulama Ahlus Sunnah wal jama'ah.

Namun yang saya ingin sampaikan bahwa pemikiran ini merupakan salah satu di antara sekian penyimpangan yang dimiliki tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin , dari merekalah pemikiran ini berasal. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Shalih Alus Syaikh hafidzahullah Ta'ala, beliau menyatakan tatkala menjelaskan tentang pemahaman yang benar dalam menyikapi “fiqhul waqi’": "...oleh karena itu kami mengatakan, bahwa sesungguhnya keadaan politik dapat diketahui. Adapun mendalaminya, maka ini sangatlah sulit menjangkaunya, sampai para politikus sendiri mereka tidak mengetahui hakikatnya. Kita bisa mendalami dari kondisi politik dengan apa yang Allah Jalla wa 'Alaa memberikan kepada kita fiqihnya , berupa prinsip-prinsip yang kokoh dalam menjelaskan hubungan antara seorang mukmin dengan musuh-musuhnya. Ini adalah pokok-pokok yang tetap, kita memahaminya dengan baik, seperti mengenal musuh-musuh kaum muslimin. Allah Ta'ala berfirman:
وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللهِ نَصِيرًا?[النساء:45]

"Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)." (QS.An-Nisaa:45)

Allah Jalla wa 'Alaa menjelaskan kepada kita bahwa kaum musyrikin seluruhnya sebagai musuh bagi kita, bahwa Yahudi itu adalah musuh bagi kita, Nashara adalah musuh bagi kita, orang-orang munafik adalah musuh bagi kita. Hal ini adalah prinsip yang umum, memahaminya adalah dengan memahami al-Kitab dan Sunnah, dan tidak ada lagi fiqih tambahan. Maka seorang mukmin mengambil sikap kehati-hatiannya dengan fiqih yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, sebab fiqih yang khusus ini yang disebut fiqhul waqi' tidak dapat dijangkau oleh ilmu tersebut –dan ia bukan fiqih-, tidak dijangkau kecuali orang yang sangat khusus sekali. Sedangkan suatu hal yang dimaklumi bahwa diantara kaidah syariat yang ditetapkan oleh Asy-Syathibi dan yang lainnya dalam kitabnya "Al-Muwafaqaat”, dan dinyatakan pula oleh yang lainnya: bahwa syariat Islam adalah syariat yang ummiyyah, yaitu dalam penetapan syariatnya dan apa yang dituntut oleh syariat dari para penganutnya adalah melihat keadaan mayoritas mereka, yaitu mereka yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis, pen). Dan apabila hukum-hukum dibangun di atas sesuatu yang tidak ada yang dapat menjangkaunya kecuali ‘orang yang khusus’, maka ini merupakan celaan terhadap syariat. Sebab hukum-hukum yang dibutuhkan manusia seluruhnya tidak dibangun di atas pengetahuan ‘orang-orang khusus’ dan hal yang dimaklumi bahwa sikap muslim atas musuh-musuhnya diperlukan oleh setiap orang.
Oleh karenanya Allah Jalla wa'Alaa menjelaskannya dalam al-Qur’an dengan sangat terperinci.Sesungguhnya kadar yang wajib dari (ilmu) tersebut –yang dinamakan fiqhul waqi' as-siyasi (memahami kondisi politik)- kadar yang wajib - yang diwajibkan kepada setiap muslim agar mengetahui dari kondisi tersebut- : kondisi yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya atau yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam Sunnahnya. Namun apa yang lebih dari itu, ada kalanya termasuk dalam fardhu kifayah, dan ada kalanya termasuk diantara perkara yang disukai, dan terkadang tidak terpuji dalam sebagian keadaan, apabila menyebabkan dia menyia-nyiakan pokok-pokok syari'at , sebab permasalahan ini banyak terjadi.“Orang yang pertama yang menyebutkannya –sepengetahuan saya- di masa ini adalah Sayyid Quthb dalam tafsirnya "fi dzilalil Qur’an" dalam surat Yusuf –menurut persangkaanku dan mungkin saja aku lupa - ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

"Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS.Yusuf:55)Dia (Sayyid Quthb) membagi fiqih menjadi dua bagian:-Fiqhul Auraq (fiqih kertas)-Fiqhul Harakah (fiqih pergerakan)Dan dia mengatakan:sesungguhnya fiqih pergerakan dibangun diatas fiqhul waqi', dan haruslah bagi pergerakan –yaitu jama'ah Islamiyyah yang terorganisir- agar mementingkan fiqhul waqi', sebab pergerakan dibangun di atas pengetahuannya terhadap fiqhul waqi'. Dia lebih mementingkan fiqhul waqi' di atas apa yang dinamakan fiqih kertas, sebab fiqih kertas –yaitu memahami al-Qur’an dan As-Sunnah- hanyalah dibutuhkan jika daulah Islamiyyah telah ditegakkan. Adapun jika daulah Islamiyyah belum tegak, atau jama'ah Islam tidak memiliki kekuatan politik yang dapat menegakkan hukum, lalu bagaimana mungkin akan diperhatikan fiqih kertas tersebut sebelum tegaknya (daulah Islamiyah), sehingga mementingkan fiqih kertas dalam kekosongan –menurut ungkapannya- dalam keadaan kosong, tidak dapat diterapkan pada kondisi tertentu. Lalu diapun memusatkan pembicaraannya seputar fiqhul waqi'. Ini yang saya ketahui, dia yang pertama menyebarkannya dan menyebutkannya, dan fiqhul waqi' hanyalah masyhur pada masa-masa 30 tahun terakhir , lalu menyebar di kalangan para da'i dan pemuda."(Transkrip salah satu ceramah beliau yang berjudul: “Pemahaman yang benar tentang fiqhul waqi'”, dari barnamij Maktabah Shalih Alus Syaikh "Ruhul Islam", transkrip Al-Akh Salim Al-Jazairi).Sayyid Quthb juga mengatakan dalam kitabnya "Limadza A'damuni" (48-49):"…aku telah membebankan kepada mereka agar mengkhususkan diantara mereka orang-orang yang mereka pilih sebelumnya, mereka yang meneliti koran-koran dunia dan berita-berita dunia , dan jika memungkinkan kitab-kitab yang diterbitkan dalam dua bahasa :inggris dan prancis, dan memiliki semangat Islam dan mantiq Islami."Syaikh Rabi’ tatkala menukilkan ucapan Sayyid ini mengatakan:"Ini awal pijakan dari apa yang mereka namakan "fiqhul waqi'", yang telah melalaikan banyak dari para pemuda untuk mementingkan ilmu syar'I, serta menanamkan dalam jiwa mereka sikap merendahkan ulama dan memalingkan para pemuda dari mereka. Bahwa dengan hawa nafsu mereka (hizbiyyun) memunculkan berbagai tuduhan dan hukum bahwa mereka (ulama) adalah "antek-antek" dan "mata-mata" , "ulama haid dan nifas" dan " mereka antrian (terbelakang) dari orang –orang yang dikekang (masa lalu), dan ilmu mereka hanya kulitnya saja". Dan Sayyiq Quthb telah menjadi contoh dalam mencela para ulama dan mencerca mereka, ilmu dan kitab-kitab mereka. (Dikutip dari kitab Yanbu' al-fitan, Syaikh Rabi’:6, ta'liq atas perkataan Sayyid Quthb rahimahullah).Dari apa yang kita paparkan sangat nampak sekali pengaruh dakwah Ikhwanul Muslimin yang bercokol pada diri Abdurrahman Abdul Khaliq, sehingga sampai kepada tingkat merendahkan kedudukan para ulama Ahlus Sunnah wal-jama'ah dan memberinya gelar-gelar yang buruk. Berkata At-Thahawi rahimahullah dalam aqidahnya:
" وعلماء السلف من السابقين، ومن بعدهم من التابعين –أهل الخير والأثر، وأهل الفقه والنظر- لا يذكرون إلا بالجميل، ومن ذكرهم بسوء فهو على غير السبيل

"Ulama salaf yang terdahulu, dan yang setelahnya - dari yang mengikuti mereka –dalam kebaikan dan mengikuti atsar, ahli fiqih dan berpandangan- mereka tidak disebut kecuali dengan kebaikan, barangsiapa yang menyebut mereka dengan keburukan, maka dia bukan di atas jalan (yang benar)."Sebenarnya dengan apa yang telah kami sebutkan, sudah cukup untuk menjelaskan tentang keadaan Abdurrahman Abdul Khaliq dari sisi manhaj yang dimilikinya. Demikian besar pengaruh manhaj Al-Ikhwanul Muslimun terhadap dakwah yang sedang dijalankan olehnya. Sehingga sangat wajarlah kalau Al-Akh Firanda memasukkannya ke dalam daftar "para hizbiyyin" yang dia sebutkan sebelumnya.Para pembaca yang budiman - semoga Allah senantiasa merahmati kita semua- , untuk melengkapi data bagi para pembaca –disamping kesalahan yang telah kami sebutkan dari sikap berlebih-lebihan dalam menyikapi fiqhul waqi', mencela ulama, bahkan gurunya sendiri, - yang ingin mengetahui lebih jauh tentang penyimpangan tokoh penting dalam organisasi Ihya At-Turats ini, maka kami akan meringkasnya dalam poin-poin berikut:- Menganggap bahwa diantara metode dakwah Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah berdemonstrasi- Menganggap bahwa kondisi kaum muslimin yang terpecah-pecah menjadi berkelompok-kelompok dan berjama'ah adalah fenomena yang sehat- Membolehkan masuk ke dalam parlemen, bahkan menulisnya dalam kitab khusus dengan judul "Masyru'iyyah ad-dukhul ilaa al-majalis at-tasyri'iyyah"- Membagi syari'at Islam menjadi dua bagian: kulit dan isi. Dan Abdurahman Abdul Khaliq mengatakan: “Sayang sekali, kita memiliki para Syaikh yang memahami kulit-kulit Islam, pada tingkatan masa-masa lalu yang telah mengalami perubahan dalam aturan kehidupan manusia dan metode mu'amalah mereka."- Menuduh salafiyyin yang membantah ahlul bid'ah sebagai orang yang bermanhaj Khawarij yang memberontak terhadap Utsman radhiyallahu ‘anhu dan membunuhnya- Menguatkan manhaj muwazanah, dalam menyebutkan kebaikan dan keburukan ahlul bid'ah.- Ia dengan organisasinya telah membentuk hizbiyyah tanpa memperhatikan masalah tashfiyah dan tarbiyah.- Ia dengan organisasinya telah menempuh cara Al-Ikhwanul Muslimun dalam berdakwah lewat politik. Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentangnya : "Politik telah merubahnya…"- Menganggap boleh melakukan sebagian perkara haram untuk mencapai tujuan. Ia berkata dalam kitabnya "Al-Muslimun wal 'amal as-siyasi", hal:56: "Seorang muslim tidaklah mungkin menangani perdagangan, pertanian, keterampilan dan amalan apapun, kecuali dengan melakukan sebagian perkara - yang haram - yang telah ditetapkan oleh kondisi yang menyimpang dari agama." Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang akan kita sebutkan pada edisi selanjutnya, insya Allah Ta'ala. Untuk mengetahui semua apa yang kami sebutkan, silahkan merujuk ke referensi berikut:- Jama'ah Wahidah laa jamaa'aat, tulisan Syaikh Rabi’, - Mulahadzoot 'alaa ba'dhi kutub As-Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, tulisan Syaikh Bin Baaz rahimahullah, terdapat dalam fatawa Ibnu Baaz: 8/240-245, - An-Nashr Al-Aziz, tulisan Syaikh Rabi’ hafidzahullah, dengan kata sambutan dari Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah.- Fatawa Al-Albani dari kaset: Silsilah Al-Huda wan-Nuur:200, dari barnamij: Ahlul Hadits wal Atsar.- Fatawa Al-Albani dari kaset Silsilah Al-Huda wan-Nuur: no: 700, dari barnamij: Ahlul Hadits wal Atsar.Jika ada yang mengatakan: “Kami sudah tahu tentang penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq, namun apa hubungan antara kesalahan-kesalahan Abdurrahman Abdul Khaliq dengan organisasi Ihya At-Turats?”

Maka kami menjawab dari beberapa sisi:
1- Perlu kita mengetahui –semoga Allah senantiasa membukakan hati kita untuk menerima al-haq- bahwa pengaruh dan campur tangan Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap Ihya At-Turats adalah seperti pengaruh Hasan Al-Banna terhadap al-Ikhwanul Muslimun. Sebagaimana seseorang yang apabila dia hendak mengetahui tentang gerakan Al-Ikhwanul Muslimun, maka dengan cara mempelajari model dan pemikiran dakwah Hasan Al-Banna serta tokoh-tokohnya. Maka demikian pula Abdurrahman Abdul Khaliq, yang memiliki peranan yang sangat penting dalam organisasi tersebut, dan pendapat-pendapatnya-lah yang selalu dikedepankan dalam menjalankan "hizbiyyah" Ihya' At-Turats. Dan itu sangat nampak sekali dari manhaj mereka yang dituangkan lewat majalah mereka yang dinamakan "Al-Furqan", dan juga berdasarkan data-data dan kesaksian dari para masyaikh dan penuntut ilmu yang mereka pernah hidup bersama mereka. Hal ini akan kita beberkan pada edisi berikutnya, insya Allah Ta'ala.
2- Bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq-lah yang menjadi penyebab perpecahan yang terjadi di Indonesia, dengan kedatangannya ke ma'had Al-Irsyad, Tengaran, Boyolali dan sempat mengisi ceramah disana. Disaat beberapa ustadz berkumpul di sana untuk mendengar taushiyah dari ‘Syaikh’ Abdurrahman Abdul Khaliq –semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua-, lalu kemudian terjadi forum tanya-jawab. Adapun yang saya ingat ketika itu (dan saya hanya mendengar dari kaset, namun beberapa ustadz menghadiri secara langsung majelis tersebut, diantara yang saya ingat adalah Al-Ustadz Muhammad Sewed, dan Al-Ustadz Shalih Su'aidi. Dan ketika itu belum jelas keadaan Abdurrahman Abdul Khaliq dan hakikat penyimpangannya oleh sebagian kalangan para ustadz tersebut) bahwa Abdurrahman sangat getol melakukan pembelaannya terhadap Yusuf Al-Qaradhawi. Abdurahman juga memujinya (Yusuf), menyatakan andilnya yang sangat besar terhadap Islam –menurutnya-, ia mencela orang yang merendahkan kedudukannya. Bahkan ia sampai kepada tingkat mentahdzir orang yang melecehkan Yusuf Al-Qaradhawi agar tidak menghadiri majelis orang yang seperti itu. Apa yang saya sebutkan ini banyak diketahui oleh ikhwan yang mengalami awal terjadinya perpecahan pada saat itu. Tapi sayang sekali, kaset itu entah dimana karena kejadian ini sudah cukup lama sekali, kalau tidak salah di tahun 1996, sepuluh tahun yang lalu.Oleh karenanya, sungguh benar apa yang disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah Ta'ala:
فجمعية إحياء التراث بالكويت هي التي تجمع الأموال ثم ترسل عبدالرحمن بن عبدالخالق ليضل الناس ويشتت شملهم، فالدعوة غنية عن عبدالرحمن وعن أفكاره، فعليه بالجلوس في بيته

"Organisasi Ihya Atturots di Kuwait, yang mengumpulkan harta lalu mengirim Abdurrahman Abdul Khaliq untuk menyesatkan manusia dan memecah-belah persatuan mereka. Maka dakwah ini tidak membutuhkan Abdurrahman Abdul Khaliq dan pemikirannya. Hendaklah ia duduk di rumahnya." (Dikutip dari kitab Tuhfatul Mujib : As'ilah Syabab Andunusia, pertanyaan no:75)

Oleh karena itu, tatkala para ulama menjelaskan tentang kondisi dakwah Salafiyyah model "Abdurrahman Abdul Khaliq", maka mereka tidak mengkhususkan pembicaraannya terhadap Abdurrahman Abdul Khaliq, namun mengikut-sertakan organisasinya yang diatur dan dididik oleh Abdurrahman dengan pemikiran "Al-Ikhwanul Muslimun"-nya. Sementara yang menunjukkan apa yang saya sebutkan adalah tatkala Syaikh Al-Albani –tentu beliau termasuk ulama senior dalam pandangan Firanda dan yang lainnya- ditanya dalam salah satu majelisnya tentang buku Abdurrahman Abdul Khaliq yang menulis tentang disyariatkannya melakukan amalan politik. Beliau (syaikh Al Albani) menyampaikan nasehat setelah beliau membaca risalah tersebut, dan diantara yang beliau katakan:
في اعتقادي أن الإخوان في الكويت خوفي منهم شديد يصبحون كالإخوان المسلمين , ما يهتمون بالدعوة , ما يهتمون بما أسميه بالتصفية والتربية , همهم الدعوة الساسية والمناصب والانتخابات والبرلمان ونحو ذلك .وأكثر من هذا كونه يصرح بأنه لا بد من ارتكاب بعض المحرمات, لأنه لو تصدر من إفرنجي كان كثيرا, فكيف من سلفي؟ ربنا يقول { ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب} وهو يقول : لا بد من ارتكاب بعض المحرمات, وفي الحديث المشهور ((فإن ما عند الله لا ينال بالحرام))

"Dalam keyakinanku, bahwa para ikhwan yang ada di Kuwait –aku sangat khawatir terhadap mereka- mereka telah menjadi seperti Al-Ikhwanul Muslimun, mereka tidak mementingkan perkara dakwah, tidak mementingkan dengan apa yang saya namakan dengan "tashfiyah dan tarbiyah". Kepentingan mereka adalah politik, kedudukan, pemilu, parlemen, dan yang semisalnya. Lebih dari itu yakni dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) menyatakan bahwa diharuskan melakukan sebagian perkara yang diharamkan! Sebab hal ini jika diucapkan seorang kafir barat, ini merupakan perkara besar, lalu bagaimana halnya jika diucapkan oleh seorang Salafi? Robb kita berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."(QS.At-Tholaq:2-3)

Sementara dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) mengatakan: “Harus melakukan sebagian perkara yang diharamkan”. Dan dalam hadits yang masyhur: "Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram" . (Dikutip dari kaset Silsilah al-Huda wan Nuur, fatawa Syaikh Al-Albani rahimahullah, no: 166, dari barnamij: Ahlul Hadits wal Atsar). Wallahu a’lam.3- memberi peringatan kepada kaum muslimin dari bahaya pemikiran Abdurrahman Abdul Khaliq,yang disebarkan melalui berbagai kegiatan Organisasi Ihya At-turats di berbagai negara secara umum dan di Indonesia secara khusus, agar mereka tidak terpengaruh dari berbagai penyimpangan dan kesesatan tersebut. Sebab boleh jadi seseorang dapat terpengaruh –baik secara langsung maupun tidak - dengan sebab sikap husnudz-dzhan (berbaik sangka) kepada Organisasi ini, sehingga dapat menyebabkan ia merendahkan kedudukan seseorang –terlebih bila dia tergolong dalam salah satu ulama "paling senior"- yang mengeritik dan menjelaskan kesesatan dan penyimpangannya. Al-Ustadz Al-Fadhil Ibnu Yunus hafidzahullah mengabarkan kepada kami bahwa pernah terjadi pertemuan empat mata antara beliau dengan Al-Akh Firanda, terjadi dialog diantara keduanya. Di antara yang disebutkan oleh Firanda bahwa ia dikabari oleh gurunya yang mengajarinya di "Jami'ah Islamiyyah" Madinah Nabawiyyah, bahwa "keadaan kota Madinah "lebih kondusif" setelah Syekh Robi' "diusir" dari kota tersebut". Kira-kira itulah yang dia sebutkan dalam pertemuan tersebut. Maka bila hal ini benar, sungguh Firanda telah menjadi buta dengan sebab kecintaannya terhadap Organisasi Ihya At-turats dan yang bekerjasama dengan mereka, dengan sebab itulah yang menyebabkan dia berani menukil berita "bohong dan palsu" yang memang dijadikan senjata oleh para hizbiyyun, untuk merendahkan kedudukan Asy-Syekh Robi' hafidzahullah Ta'ala.Wallahul musta'an.Mungkin saja Firanda berusaha mengelak dan mengatakan :"saya tidak bermaksud merendahkan Syekh Robi' dengan penukilan tersebut".Kami katakan: "lalu apa maksud antum menukil berita dusta itu?", sebab seseorang tatkala menukil sebuah berita, maka dia tidak menukilnya melainkan disebabkan satu tujuan tertentu:- apakah dia menukil untuk membantah kedustaan berita tersebut, dan itu tidak anda lakukan, sebagaimana yang dikisahkan kepada kami tentang pertemuan tersebut.- dia menukil untuk membenarkan apa yang diceritakan oleh guru anda.

Adapun kalau hanya sekedar menukil dan tidak bermaksud apa-apa, atau sekedar pengisi waktu di saat ngobrol, maka yang demikian bukan ciri-ciri seorang yang pantas disebut sebagai "thalibul 'ilmi", apalagi bagi mereka yang telah mendapat gelar "LC", "MA", "penuntut ilmu senior", dan yang semisalnya." Sikap lempar batu sembunyi tangan semacam yang anda tunjukkan ini tidaklah mencerminkan kepribadian seorang salafi dan ahlis sunnah. Mari kita menyadari dan merenungi dosa dan kesalahan kita masing-masing tanpa harus membuat trik-trik yang mengesankan kita terbebas dari dosa dan kesalahan ". Ketahuilah!, sesungguhnya daging para ulama itu beracun!! (maksudnya ulama tidak boleh dighibah, jika dighibah akan matilah yang menggibah karena keracunan-ed) .

Adapun bantahan terhadap berita"dusta dan palsu" ini akan kami nukilkan pada edisi berikutnya,insya Allah Ta'ala.(BERSAMBUNG INSYA ALLAH)

Sumber: www.darussalaf.or.id dengan tambahan dari saya sedikit dan tidak mengurangi kandungan isi.

Rabu, 01 November 2006

Hamba Berada di Antara Dua Jari Allah

Penjelasan Bahwasanya Hati Para Hamba Berada di Antara Dua Jari dari Jari-Jemari Ar Rohman, Dia Bolak-balikkan Sekehandak-Nya.



Penulis: Asy Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Husain Ash Shumaly

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman (yang artinya), "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Anfal : 24)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman (yang artinya), "Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS. Al-An'am : 110)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman (yang artinya), "Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf : 99)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman (yang artinya), "Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." (QS. Ash-Shaf : 5)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman (yang artinya), "Dan apabila diturunkan satu surat, sebagian mereka memandang kepada yang lain (sambil berkata): "Adakah seorang dari (orang-orang muslimin) yang melihat kamu?" Sesudah itu merekapun pergi. Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti." (QS. At-Taubah : 127)

Dan dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash Radiyallahu 'anhu bahwasanya beliau mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya),“Sesungguhnya hati-hati bani Adam seluruhnya berada diantara dua jemari Ar Rohman laksana satu hati Ia bolak-balikkan hati tersebut sekehandaknya.” Kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu.”

Dan di dalam Sunan At Tirmidzi dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha beliau berkata(yang artinya), “Doa yang sering dibaca Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam wahai Dzat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agamamu.”

Dan dari Nawwas bin Sam'an ia berkata aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah ada satu hatipun melainkan berada diantara dua jemari dari jari jemari Ar Rahman bila ia kehendaki, Ia akan meneguhkannya dan bila Ia kehendaki, Ia akan menyesatkannya.” (diriwayatkannya oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad dan Ibnu Majah. Dishohihkan oleh syaikh Albani)

Dan dari Abu Musa Al Asy'ari ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya hati ini laksana bulu ditengah padang pasir tandus yang dibolak-balikkan oleh angin”Ibnu Abi Ashim mengeluarkan dalam kitabnya As Sunnah dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam sering membaca doa
يا مقــلـب لقــلــوب ثبــت قــلبـــي عــلى د ينـــك

(Wahai Dzat yang meneguhkan hati, teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu) aku pun bertanya: 'Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau sering membaca doa ini, apakah engkau merasa khawatir?” beliau menjawab: “Ya, lalu apa yang membuat aku merasa aman wahai Aisyah sementara hari para hamba berada diantara dua jari jemari Ar Rohman”Maka bila engkau telah mengetahui bahwasanya hati para hamba berada diantara dua jari dari jari jemari Ar Rohman, Ia bolak-balikkan sekehandaknya dan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam -padahal beliau adalah makhluk yang paling utama – doa yang sering beliau baca adalah :
يا مقــلـب لقــلــوب ثبــت قــلبـــي عــلى طـا عــتـك

“Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku di atas ketaatan kepadamu” maka bagaimana diperkenankan bagi seorang yang berakal untuk mengatakan, “Saya akan belajar di pangkuan ahlul bid'ah dan saya akan menjaga hatiku dari kesesatan dan penyimpangan”, karena setiap penyimpangan dan petunjuk itu memiliki sebab-sebab yang mengantarkan kepada-Nya. Maka bila engkau menempuh jalan-jalan penyimpangan dan kesesatan – dan di antara sebab terbesar untuk hal itu adalah belajar di pangkuan ahlul bid'ah – niscaya hatimu akan menyimpang dan engkau tersesat dari jalan yang lurus. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman(yang artinya), "Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka." (As-Shaff : 5)

Namun bila engkau meminta pertolongan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan menempuh jalan-jalan petunjuk dan bimbingan, niscaya hatimu akan tetap istiqomah dengan izin dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan engkau pun berada di jalan yang lurus. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menyelamatkan kita dari penyimpangan dan kesesatan serta sebab-sebab yang menghantarkan kepadanya. Dan Allah lah Dzat yang dimintai pertolongan.

Sumber: Kitab Tanbih Ulil Albab 'Ala Tahrim Ad-Dirosah 'Inda Ahlil Bida' wal Irtiyab, Edisi Indonesia : Untaian Nasehat bagi Orang yang Berakal; Penerbit : Pustaka Ashabul Hadits-Gresik. Ditulis kembali oleh : Abu Fudhail Andi Al Bugisy
diambil dari www.darussalaf.or.id

Selasa, 31 Oktober 2006

Membongkar Kedok Jamaah Tabligh

Membongkar Kedok Jamaah Tabligh

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc

Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.

Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.

Pendiri Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.

Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)

Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah shalallahu'alaihi wasalam (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).

Markas Jamaah Tabligh
Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)

Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allahu ta'ala. (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)

Asas dan Landasan Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:

Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).

Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).

Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).

Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.

Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).

Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)

Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)

Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)

Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)

Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya
Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah2:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).
11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.

Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh
1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.

Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.


Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=153

Kamis, 12 Oktober 2006

Hukum Sekitar Khutbah Ied

Hukum Sekitar Khutbah Ied

Penulis: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


.: :. KHUTBAH SETELAH SHALAT IED

Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari membuat bab dalam kitab 'Shahih'nya (Kitabul Iedain, bab nomor 8. Lihat Fathul Bari 2/453): "Bab Khutbah Setelah Shalat Id".

Ibnu Abbas berkata : (Yang artinya) : “ Aku menghadiri shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]

Ibnu Umar berkata : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa'i 3/183, Ibnu Majah 1276 dan Ahmad 2/12 dan 38]

Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Bukhari di atas (Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 79) :"Yakni : Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan" [Dia adalah Marwan Ibnul Hakam bin Abil 'Ash, Khalifah dari Banni Umayyah wafat tahun 65H, biografinya dalam 'Tarikh Ath-Thabari 7/34]

Berkata Imam Tirmidzi (Dalam Sunan Tirmidzi 2/411) :"Yang diamalkan dalam hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fithri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Al-Hakam" [Lihat kitab Al-Umm 1/235-236 oleh Imam ASy-Syafi'i Rahimahullah dan Aridlah Al-Ahwadzi 3/3-6 oleh Al-qadli Ibnul Arabi Al-Maliki]


TIDAK WAJIB MENGHADIRI (MENDENGARKAN) KHUTBAH

Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fithri dan Adha. Maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah" [Dikeluarkan oleh Bukhari 956, Muslim 889, An-Nasa'i 3/187, Al-Baihaqi 3/280 dan Ahmad 3/36 dan 54]

Khutbah Id sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, dibuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Yang Maha Mulia.Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada satu hadits pun yang dihafal (hadits shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan takbir.

Adapaun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam 'Sunan'nya (Dengan nomor 1287, dan diriwayatkan juga oleh Al-Hakim 3/607, Al-Baihaqi 3/299 dari Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin Sa'ad muadzin. Abdurrahman berkata : "Telah menceritakan kepadaku bapakku dari bapaknya dari kakeknya ..." lalu ia menyebutkannya. Riwayat ini isnadnya lemah, karena Abdurrahman bin Sa'ad rawi yang dhaif, sedangkan bapak dan kakeknya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal)) dari Sa'ad Al-Quradhi muadzin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir" [Zadul Ma'ad 1/447-448]

Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk. Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam "Musnad"nya (no. 53-Musnad Sa'ad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk.Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib : "Haditsnya mungkar"Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya.

Menghadiri khutbah Id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dari Abdullah bin Saib, ia berkata :(Yang artinya) : “ Aku menghadiri Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat, beliau bersabda : 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah" [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa'i 3/185, Ibnu Majah 1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3.96-98]

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah (Zadul Ma'ad 1/448) :"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang menghadiri shala Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi" [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214].

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)...sumber: www.salafy.or.id

Jumat, 29 September 2006

Kesesatan Qaradhawi - Menghalalkan yang Haram

بسم الله الر حمن الرحيم

Kesesatan Qaradhawi - Menghalalkan yang Haram

Penulis: Asy Syaik Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini


15. Membolehkan Penjualan Sebagian Barang-Barang Haram

Majalah Al Mujtama’ memberitakan bahwa organisasi-organisasi Islam di Prancis mengadakan seminar fiqih pada tanggal 19 Juli 1997 di Paris yang dihadiri oleh Yusuf Al Qaradhawi, Dr. ‘Isham Al Basyir, dan sebagainya. Disebutkan pula bahwa tujuan seminar fiqih ini adalah menjawab persoalan-persoalan fiqhiyah yang dilontarkan oleh kaum Muslimin di negeri tersebut. Lalu sang wartawan ini menceritakan tentang seminar tersebut. Dia menulis :Adapun tentang (sebagian) penjualan barang-barang haram maka ia (Qaradhawi) telah membolehkannya dalam batasan darurat dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (Majalah Al Mujtama’ nomor 1261, 5 Agustus 1997/Awal Rabi’ul Akhir 1418)

Pembaca yang budiman, lihatlah betapa lancangnya Qaradhawi dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah seperti khamr, babi, dan sebagainya di negeri kafir dengan alasan darurat yang tidak melanggar undang-undang yang berlaku (Jangan heran dengan ajakan Qaradhawi ini. Dia juga mengajak untuk mengikuti Barat, seperti diberitakan Majalah Al Mujtama’ di atas. Dalam seminar di Paris dia menjawab berbagai masalah fiqhiyah seperti yang dinukil wartawan : “Lalu Qaradhawi menjawab pertanyaan hadirin dengan jawaban bahwa dia membolehkan seorang Muslim tinggal di negeri kafir dan mendapatkan kewarganegaraan kecuali bagi orang yang menginginkan tinggal sekedar untuk mengumpulkan harta tanpa mencari persaudaraan dengan saudara-saudara Muslimnya. Dia menganggap perkara ini adalah keharaman yang paling besar kemudian dia mengajak untuk mentaati peraturan dan undang-undang Barat dan memprioritaskan hak Pemilu yang dianggapnya sebagai satu persaksian : ‘Dan janganlah kalian sembunyikan syahadah kalian.’”) .

Maka di manakah kefakihan sang Faqihul Islam (seperti yang mereka sangka) dalam memahami firman Allah :Katakanlah : “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)

Membolehkan Hadir Dalam Acara Yang Dibagikan Khamr Di Dalamnya Demi Dakwah

Dalam seminar fikih di Paris tersebut, sang wartawan menulis jawaban Qaradhawi :“Kemudian dia menjawab pertanyaan yang mewakili kebanyakan Muslimin di Barat pada khususnya para pimpinan dan pengurus yayasan bila diundang menghadiri acara-acara yang dibagikan khamr di dalamnya sehingga orang terpaksa duduk di meja tempat orang-orang meminum khamr. Dan demi maslahat dakwah Islamiah, seorang Muslim dituntut untuk tidak absen dari acara-acara seperti itu supaya tidak terkesan mengucilkan diri dari masyarakat. Dan Qaradhawi berpendapat bahwa pada dasarnya pengundang acara-acara ini harus menghormati keyakinan Muslimin dan menjauhkan mereka dari semua yang diharamkan yang dikenal dalam agama mereka namun apabila hal tersebut sulit maka hal-hal yang diharamkan seperti ini kalau dibutuhkan hukumnya dibolehkan.”Sebagai bantahan atas fatwa yang menyesatkan ini, aku berkata :

Pertama, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia duduk di atas hidangan tempat minum khamr.” (HR. Ahmad dari Umar bin Khaththab, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil hadits nomor 1949). Jelaslah bahwa hadits tersebut membantah dengan tegas terhadap fatwa orang yang dianggap Faqihul Islam ini.

Kedua, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan sifat-sifat hamba-Nya di antaranya tidak menghadiri majelis-majelis batil yang disebut az zuur.Allah telah menyebutkan dalam surat Al Furqan tentang sifat-sifat ibadurrahman (hamba-hamba Allah) dalam firman-Nya :“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72)

Terhadap ayat tersebut, Malik berkata dari Az Zuhri : “Dalam pertemuan yang di dalamnya ada acara minum khamr, mereka tidak menghadiri dan tidak menyukainya.”Muhammad bin Al Hanafiah berkata : “Az Zuur adalah laghwun dan nyanyian.”Az Zajaji menjelaskan : “Mereka tidak duduk menemani para pelaku maksiat, tidak mendukung mereka, dan mereka berlalu sebagai orang-orang terhormat. Mereka tidak meridhai hal-hal yang tidak berfaedah karena mereka menghormati diri mereka untuk mencampuri hal tersebut dan bergaul dengan orang-orangnya.”Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan : “Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelis-majelis batil. Apabila mereka melewati apa yang tidak berfaedah, baik kata-kata atau perbuatan, mereka menjaga diri mereka dari menemani dan cenderung kepadanya. Dan termasuk di dalamnya adalah hari-hari besar orang-orang musyrik --sebagaimana para Salaf menafsirkannya--, nyanyian, dan segala macam kebatilan.”Beliau juga menjelaskan : “Az Zuur diartikan dengan perkataan dan perbuatan yang batil.” (Ighaatsatul Lahafan I:241-242)

Asy Syaukani berbicara tentang arti Az Zuur dalam kitabnya Fathul Qadiir juz III:89 lalu dia menyebut pendapat-pendapat para ulama kemudian berkata : “Dan yang paling utama adalah tidak mengkhususkan dengan salah satu jenis dari jenis-jenis az zuur, akan tetapi yang dimaksud adalah mereka tidak menghadiri semua hal yang termasuk Az Zuur apapun dan bagaimanapun.”Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam Tafsir Al Karimi Ar Rahman mengatakan : “Mereka tidak menghadiri Az Zuur, baik perkataan, perbuatan yang haram, dan mereka menjauhi semua majelis yang mencakup perkataan-perkataan haram dan perbuatan-perbuatan haram seperti terlalu mempermasalahkan ayat-ayat Allah, perdebatan yang batil, ghibah, adu domba, mencela, menuduh zina, mengolok-olok, dan nyanyian yang diharamkan, meminum khamr dan menggelar sutera, gambar-gambar, dan sebagainya.

Ketiga, As Salaf radliyallahu 'anhum menjauhi majelis-majelis batil dan jahat. Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr diriwayatkan bahwa seorang laki-laki membuat makanan dan mengundangnya. Maka dia berkata : “Apakah di dalam rumah terdapat gambar-gambar?” Dia menjawab : “Ya!” Maka beliau menolak datang hingga gambar-gambar tersebut dihancurkan lalu beliau masuk.Imam Al Auza’i berkata : “Kami tidak memasuki pesta yang terdapat kebatilan dan alat-alat musik.”Pembaca yang budiman, dengan penjelasan para Salaf tersebut, jelaslah bagi kita bahwa Qaradhawi tidak merujuk kepada dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dia semata-mata berfatwa dan berjalan seiring dengan apa yang dianggap baik oleh hawa nafsunya. Apakah maslahat yang dapat diambil dari menghadiri majelis-majelis yang melanggar hal-hal yang diharamkan Allah? Apakah sudah tidak ada lagi tempat untuk berdakwah?

Menghalalkan Sembelihan Orang Kafir Selain Ahli Kitab

Ketika mengunjungi Malaysia dan Jepang, Qaradhawi bertemu dengan wartawan dari Harian Asy Syarq lalu diadakanlah wawancara yang difokuskan pada fatwa seputar makanan dan sembelihan. Ditanyakan bagaimana menyikapi masakan dan makanan orang Jepang yang bukan Ahli Kitab? Qaradhawi menjawab :Sebenarnya ketika mengunjungi Jepang pada masa-masa sebelum ini, aku bersikap sangat keras. Tapi kali ini aku tidak mementingkannya dalam beberapa hal. Maka aku berkata pada mereka, tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ditanya tentang orang Majusi, beliau bersabda :“Perlakukan mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.”Majusi adalah bangsa yang mengatakan ada dua Tuhan yaitu Tuhan untuk cahaya dan kebaikan serta Tuhan untuk kejahatan dan kegelapan. Dan mereka juga menyembah api.Oleh karena itu, Syaikh Rasyid Ridha berpendapat dalam Tafsir Al Manaar bahwa orang-orang Budha dan yang lainnya dari pengikut agamaagama orang Timur, mereka harus diperlakukan seperti para Majusi yaitu perlakuan sama seperti Ahli Kitab apabila mereka kita anggap seperti orang Majusi. Dan hadits tadi mempunyai riwayat lain walaupun dhaif (lemah) yaitu :“Tidak boleh dinikahi para wanitanya dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka.”Adapun berkaitan dengan larangan menikahi para wanitanya, ini adalah shahih karena Al Qur’an mengatakan :“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. Al Baqarah : 221)

Akan tetapi tentang sembelihan mereka, ini yang tidak benar. Dan aku katakan, apabila benar mereka menyembelih maka tidak ada halangan apabila kita memakan sembelihan mereka. Dalam beberapa negara dikatakan, sesungguhnya tersedia daging halal yang disembelih oleh tangan orang Islam dengan cara yang syar’i dan disebut asma Allah. Dan begitulah hingga daging tersebut lebih murah daripada daging biasa. Maka alasan apa yang mendorong kita dalam keadaan seperti ini tidak lain hanyalah kadang-kadang terdapat seorang atau dua orang mahasiswa di sebuah negeri di mana mereka tidak mendapatkan orang yang menjual daging halal. Menetap beberapa tahun di negeri perantauan tanpa memakan daging adalah satu hal yang memberatkan. Maka bisa saja dalam keadaan seperti ini dia mengambil rukhshah (keringanan) akan tetapi aku memberikan syarat agar daging tersebut disembelih. Dan penyembelihan syar’i bukanlah harus menggunakan pisau dan melakukan begini-begitu akan tetapi penyembelihan yang memotong leher. (Harian Asy Syarq, 9 Muharram 1418 H/16 Mei 1997 M)

Aku berkata, sesungguhnya Qaradhawi dalam fatwanya yang menghalalkan sembelihan selain Ahli Kitab ini dilakukan atas dasar hal-hal sebagai berikut :
1. Pengalihan dari tingkatan tasyadud (keras) menjadi tingkatan tasahul (meremehkan).
2. Pengkiasan watsaniy (para penyembah berhala) dan orang-orang musyrik kepada Majusi atas dasar hadits :“Perlakukan mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.”Dan fatwa Rasyid Ridha tentang dibolehkannya sembelihan orang Budha dan lainnya dari para penganut agama-agama Timur.
3. Menetapnya para pelajar dalam delegasi pelajar bertahun-tahun tanpa makan daging adalah bukan hal yang mudah menurut Qaradhawi.

Poin pertama, perkataan Qaradhawi :“Sebenarnya ketika mengunjungi Jepang pada masa-masa sebelum ini, aku bersikap sangat keras. Tapi kali ini aku tidak mementingkannya dalam beberapa hal.”Mungkin saja dengan perkataan itu dia ingin agar kebanyakan manusia ridha --walaupun dengan mengorbankan agama-- lalu memperbolehkan memakan sembelihan orang kafir dan musyrik selain Ahli Kitab hingga tidak terkesan di hadapan manusia bahwa dia berpendapat keras. Allah telah berfirman :“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl : 116)

Poin kedua, tentang pengkiasan seluruh orang musyrik dengan Majusi maka aku berkata kepada Qaradhawi, sebelumnya kuatkanlah singgasanamu lalu ukirlah baik-baik (pikirkan dulu baru bicara). Hadits : “Perlakukanlah mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.”Yang kamu jadikan sebagai dalil adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ kitab Zakat bab 24 hadits 42. Ia mengatakan : Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari ayahnya bahwa Umar bin Khaththab menyebutkan tentang orang Majusi lalu ia berkata :“Aku tidak mengetahui bagaimana yang harus aku perbuat dalam urusan mereka.” Maka Abdurrahman bin Auf berkata : “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :‘Perlakukanlah mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.’”Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf juz I halaman 325 hadits nomor 1925, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf kitab ke-8 bab 144 hadits nomor 2. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah : “Hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya) karena Muhammad bin Ali tidak bertemu Umar ataupun Abdurrahman.” (At Talkhiis Al Habiir III:172). Al Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Hadits tersebut tidak benar diriwayatkan dengan lafal ini.” (Tafsiir Ibnu Katsiir dalam surat Al Ma’idah ayat 5 dan didhaifkan pula oleh Al Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil 1248). Seandainya hadits ini shahih maka keumumannya gugur karena telah dikhususkan dengan mafhum ayat ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir : “Seandainya diterima keshahihan hadits ini maka keumumannya dikhususkan dengan mafhum ayat :‘Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab itu halal bagimu.’Artinya bahwa makanan orang selain Ahli Kitab dari para penganut agama lain adalah tidak halal.” (Tafsiir Ibnu Katsiir surat Al Ma’idah ayat 5)

Adapun hadits ghairu naakihii Nisaa’ihim walaa aakilii dzabaa’ihihim (tidak boleh dinikahi para wanitanya dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka), Qaradhawi menyangka bahwa baris pertama dari pengecualian ini adalah shahih (tidak dinikahi para wanitanya) dan baris kedua (dan tidak boleh dimakan sembelihannya) adalah dhaif. Maka aku tidak mengerti bagaimana Qaradhawi menshahihkan baris yang pertama dan mendhaifkan baris yang kedua padahal para muhaddits telah menghukumi bahwa kedua baris hadits tersebut adalah sama-sama dhaif karena dalam sanadnya terdapat Qais bin Ar Rabi’, seorang yang dhaif ditambah lagi hadits ini mursal. Hal ini disebutkan oleh Al Hafizh dalam At Talkhiish Al Habiir III:172.

Memang, orang yang berbicara dalam sesuatu yang bukan bidangnya akan menghasilkan hal-hal yang aneh. Selain hadits tersebut dhaif dan tidak tsabit juga telah terjadi ijma’ atas diharamkannya sembelihan orang Majusi. Ibnu Abdil Barr berkata : “Sesungguhnya para ulama Islam telah bersepakat bahwa orang Majusi tidak diperlakukan seperti sunnahnya Ahli Kitab dalam menikahi wanitanya dan hukum sembelihannya.” (At Tamhiid II:116)

Ibnu Qudamah Al Maqdisy berkata : “Para ahlul ilmi telah bersepakat atas haramnya binatang buruan dan sembelihan orang Majusi kecuali hewan yang tidak disembelih seperti ikan dan belalang karena mereka sepakat membolehkannya.” Beliau juga berkata : “Dan hukum seluruh orang kafir dari para penyembah berhala, para zindiq, dan lainnya sama seperti haramnya sembelihan dan binatang buruan orang Majusi kecuali ikan dan belalang dan seluruh binatang yang halal bangkainya.” (Al Mughnii VIII:570-571)

Al Qurthubi menjelaskan : “Adapun Majusi, maka para ulama --kecuali yang menyendiri dalam pendapatnya-- bersepakat bahwa sembelihan dan binatang-binatang buruan mereka tidak boleh dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi. Karena mereka bukan Ahli Kitab.” (Al Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan VI:77-78)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Adapun orang-orang Majusi yang telah kami sebutkan pembicaraan tentang mereka didasarkan oleh dua hal, salah satunya bahwa sembelihan-sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh dinikahi.” Kemudian Syaikh mengatakan bahwa orang-orang Majusi bukanlah Ahli Kitab dengan memberikan alasan dan dalil-dalil. Rujuklah perkataannya tentang masalah haramnya sembelihan orang-orang Majusi dari Majmuu’ Fataawaa jilid ke-32 halaman 187-190.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Adapun orang Majusi, walaupun kepada mereka dikenakan jizyah (upeti) sebagaimana yang dikenakan kepada Ahli Kitab akan tetapi sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi.” (Tafsiir Ibnu Katsiir dalam ayat yang dimaksud)

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Sembelihan Majusi adalah haram bagi kita dan ini pendapat jumhur ulama.” (Majmuu’ Syarh Muhadzdzab IX:79)

Imam Syaukani menafsirkan ayat : “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab itu halal bagimu.” Beliau berkata : “Yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Majusi, jumhur ulama berpendapat bahwa sembelihan-sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan para wanitanya tidak boleh dinikahi karena Majusi bukanlah Ahli Kitab. Ini adalah yang masyhur di kalangan ahlul ilmi.” (Fathul Qadiir II:14)

Pembaca yang budiman, kita sudah mengetahui tentang dhaifnya hadits yang dijadikan dalil oleh Qaradhawi untuk menghalalkan sembelihan orang Majusi dan orang kafir selain Ahli Kitab. Telah jelas pula bagi kita tentang ijma’ dan fatwa ulama atas diharamkannya sembelihan-sembelihan orang Majusi dan orang-orang kafir selain Ahli Kitab. Maka jelaslah bagi kita bahwa Qaradhawi hanya ingin membela fatwanya sendiri yang batil atas dibolehkannya memakan sembelihan orang kafir dan musyrik selain Ahli Kitab. Qaradhawi mengkiaskan fatwanya kepada bolehnya memakan sembelihan orang kafir Majusi padahal disebutkan haramnya sembelihan-sembelihan orang Majusi. Bagaimana bisa mengkiaskan satu hukum kepada sumber yang batil? Tak dapat disangkal lagi bahwa Qaradhawi berusaha merombak berbagai panji-panji agama dengan berkedok wasithiyah (agama moderat) dan mempermudah serta tidak fundamentalis.

Adapun pengecualiannya terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang membolehkan sembelihan orang Budha dan agama-agama Timur penyembah berhala lainnya maka patut dipertanyakan padanya, siapakah Muhammad Rasyid Ridha jika dibandingkan dengan para imam Muslimin yang telah sepakat tentang haramnya sembelihan Majusi dan orang kafir selain Ahli Kitab? Para ulama dan ahli fikih telah membantah orang-orang yang lebih utama dari Muhammad Rasyid Ridha, Qaradhawi, dan ahlul ahwa lainnya seperti Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, seorang imam ahli fikih yang berpendapat tentang halalnya sembelihan orang Majusi.Tatkala menyebutkan keganjilan pendapat Abu Tsaur dalam masalah ini, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Setelah ia (Abu Tsaur) mengatakan tentang halalnya sembelihan orang Majusi dan populerlah pendapat ini maka para fuqaha mengingkarinya. Sampai-sampai Imam Ahmad mengatakan bahwa dalam hal ini dia seperti namanya yaitu Abu Tsaur (Abu Tsaur berarti : Bapaknya sapi, penterj.).” (Tafsiir Ibnu Katsiir II:21)

Poin ketiga, perkataan Qaradhawi tentang keberadaan sebagian mahasiswa di negeri kafir yang bukan Ahli Kitab dan ketidaksabaran mereka untuk tidak makan daging sementara waktu, tidak menjadikan hal yang haram menjadi halal.

Menghalalkan Produk Yang Mengandung Daging, Lemak, Dan Tulang Babi Yang Sudah Diproses Secara Kimia

Dalam sebuah harian, Yusuf Al Qaradhawi mengatakan :Masalah babi dan apa saja yang berasal dari babi bila diproses secara kimia maka aku katakan apabila barang najis yang telah diproses secara kimia maka ia telah berubah. Dan sesuatu yang najis apabila telah berubah maka menjadi suci. Para ahli fikih mengatakan : “Sesuatu yang telah berubah sebagai contoh kulit apabila dibakar dengan api dan berubah menjadi debu menjadi sangat suci.” Khamr yang aslinya adalah anggur tatkala berubah menjadi cuka menjadi suci dan hukumnya sama dengan cuka lainnya. Ulama mengatakan : “Kalau ada seekor anjing jatuh di tambang garam dan melebur dengan garam, dia tidak lagi dihukumi anjing.”Menurutku, terdapat persamaan dalam hal ini. Mereka mengatakan gelatin berasal dari tulang akan tetapi diproses secara kimia hingga hilang asalnya. Begitu pula dengan pasta gigi dan sabun. Barang-barang ini telah melalui proses kimia secara benar (sehat) dan bisa jadi asalnya dari tulang babi dan lainnya. Dan ini tidak membahayakan. (Harian Asy Syarq Ash Shadiran, 9 Muharram 1418 H/15 Mei 1997 M)

Saudara pembaca yang budiman, untuk menjelaskan kebatilan perkataan Qaradhawi ini, penulis memiliki beberapa bantahan :
Pertama, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan daging dan lemak babi bagi orang Islam dengan firman-Nya :“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah : 173)

Ketika menjelaskan makna wa lahmul khinziir (dan daging babi) dalam surat Al Ma’idah ayat 3, Imam Al Qurthubi rahimahullah mengatakan : “Allah mengkhususkan daging dari babi untuk menunjukkan diharamkannya zat babi itu, baik disembelih atau tidak dan ini mencakup lemaknya.” Beliau juga mengatakan : “Umat telah bersepakat atas diharamkannya lemak babi.” (Ahkaamul Qur’aan II:222)
Sedangkan Al Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini : “Dan firman Allah wa lahmul khinziir yaitu baik yang jinak (piaraan) maupun yang liar dan daging mencakup semua bagiannya termasuk lemaknya.”

Kedua, apabila diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan babi, lemak, dan minyaknya maka wajib bagi setiap Muslim untuk menerima syariat-Nya dengan menjauhi babi, lemak, dan minyaknya. Dan hendaknya tidak menempuh cara-cara Ahli Kitab dalam berdalih untuk menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan lemak (gajih) kepada mereka maka mereka menggunakan berbagai dalih dan cara untuk mengotak-atik syariat Allah. Mereka mencairkan lemak babi lalu menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya. Hadits dari Umar radliyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :“Allah melaknat orang Yahudi dan mengharamkan lemak bagi mereka maka mereka mencairkannya lalu menjualnya.” (Muttafaq Alaih)

Dan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :“Allah telah melaknat Yahudi tiga kali. Sesungguhnya Allah mengharamkan lemak babi atas mereka maka mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan sesuatu kecuali pastilah Dia mengharamkan penjualannya.”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memperingatkan kita agar menghindari dari cara-cara yang ditempuh Yahudi. Beliau bersabda :“Jangan engkau berbuat seperti perbuatan orang Yahudi, mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dengan tipuan yang paling hina (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Bathah dalam Tafsiir Ibnu Katsir pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Dan tanyakanlah kepada Bani lsrail tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.” Ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shibah Az Za’farani, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda ... .” Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmuu’ Fataawaa juz 29 halaman 29 ketika berbicara tentang larangan al hiyal (membuat muslihat). Beliau berkata : “Ibnu Bathah telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah.” Lalu beliau membacakan ayat tersebut. Ibnu Katsir berkata setelah menyebut sanad hadits tersebut : “Sanad ini baik karena Ahmad bin Muhammad bin Muslim ini disebutkan oleh Al Khathib dalam Tarikh-nya dan ditsiqahkan oleh para perawi lainnya yang sudah masyhur ketsiqahannya dan Tirmidzi sering menshahihkan sanad seperti ini.”) .”

Ketiga, Qaradhawi memusatkan fatwanya yang sesat pada proses kimia untuk membolehkan hasil produk yang tercampur dengan daging, minyak, atau tulang babi. Dalam hal ini telah terjadi perbedaan diantara para imam dan ahli fikih. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tetap haram tidak menjadikan suci dan halal. Namun ada pula yang menyatakan suci dan halal setelah berproses menjadi zat lain. Itu pun dengan syarat apabila berubah secara alamiah (dari Allah) tetapi jika diproses oleh manusia dan berubah menjadi zat yang lain maka mereka tidak membolehkannya. Hal ini berdasarkan atas larangan Nabi kepada para shahabatnya untuk merubah khamr menjadi cuka sebagaimana tersebut dalam hadits Anas yang akan kami sebutkan mendatang.Keempat, anggaplah apa yang dikatakannya benar --padahal hal tersebut tidak boleh sebagaimana telah disebutkan-- yaitu bahwa najis yang telah berubah menjadi zat lain karena proses yang dilakukan oleh manusia adalah halal, kita tidak mengetahui apakah daging, tulang, dan lemak babi dalam produksi itu digunakan sebelum diproses atau sesudah diproses?

Dan saya menganggap mustahil yang digunakan itu adalah zat babi yang telah diproses dengan alasan sebagai berikut :
i. Ketidaktahuan kita akan proses tersebut dari orang yang tsiqah (terpercaya).
ii. Orang-orang Kristen di Barat selalu memasang label halal untuk makanan yang bebas babi dan label haram untuk makanan yang mengandung babi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memang menggunakan daging, tulang, dan lemak babi dalam produk tanpa dirubah terlebih dahulu.
iii. Mereka (orang Kristen) mempergunakan daging, tulang, dan lemak babi dalam beberapa produksi untuk tujuan tertentu, seperti penyedap rasa dan memperhalus/memperlembut beberapa produk pembersih dan pasta dan tujuan yang dikenal di kalangan mereka.Dan sudah dimaklumi bahwa daging, lemak, dan tulang babi apabila diproses sudah pasti berubah menjadi zat lain. Kalau tidak, bukan proses perubahan namanya dan tidak ada manfaatnya.Kelima, berbagai dalih yang disebutkan oleh Qaradhawi dalam membolehkan dan menggunakan tulang babi, lemak, dan minyaknya untuk sebuah produk adalah rekayasa syaithaniyah untuk menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan khamr maka ada shahabat yang berusaha untuk memprosesnya dan merubahnya menjadi cuka serupa dengan proses kimia seperti yang didengungkan oleh Qaradhawi. Maka Rasulullah tetap tidak memperbolehkannya. Dalam hadits riwayat Muslim dari Anas radliyallahu 'anhu disebutkan bahwa Rasulullah ditanya tentang khamr apakah bisa digunakan menjadi cuka, beliau menjawab : “Tidak!”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga melarang memproses dan merubah khamr menjadi cuka meskipun khamr tersebut adalah harta warisan anak yatim yang sedang dibutuhkan. Dalam hadits Anas bin Malik diriwayatkan bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi tentang anak yatim yang mewarisi khamr. Beliau bersabda : “Tumpahkanlah!” Ia menjawab : “Apakah aku tidak boleh menjadikannya cuka?” Beliau menjawab : “Tidak!” (HR. Abu Daud)

Pembaca yang budiman, perhatikanlah larangan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk merubah khamr menjadi cuka dan membuang kemaslahatan khamr tersebut bagi anak-anak yatim. Hal ini menunjukkan larangan menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Bahkan Nabi melarang para shahabat yang ingin meminyaki kulit dan mengecat kapal dengan lemak bangkai. Hal ini disebutkan dalam hadits Jabir radliyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda pada tahun Al Fath (Fathu Makkah) ketika itu ia berada di Mekkah :“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang menjual khamr dan bangkai, babi, serta patung-patung.” Seorang shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang lemak-lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat kapal, meminyaki kulit, dan minyak lampu?” Rasulullah menjawab : “Tidak boleh, itu haram!” Kemudian beliau bersabda : “Semoga Allah memerangi Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak-lemak (bangkai) lalu mereka mencairkan dan menjualnya lalu memakan uang hasil penjualan tersebut.” (HR. Jamaah)

Kalaulah dibolehkan untuk menghalalkan sesuatu yang haram dengan suatu cara pastilah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberitahukannya kepada para shahabat supaya mereka tidak menyia-nyiakan suatu maslahat atas diri mereka karena mereka membutuhkannya. Bukankah Rasulullah lebih mengasihi umat daripada Qaradhawi sang Faqihul Islam (seperti dugaan mereka)?!Keenam, tidak ada seorang ulama pun, baik yang dahulu atau sekarang yang fatwanya sesuai dengan pendapat Qaradhawi. Fatwa ulama terdahulu telah penulis nukil sebagiannya.
Sedangkan ulama zaman sekarang maka inilah sebagian perkataan mereka :
Telah dilayangkan beberapa pertanyaan kepada Lajnah Ad Daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi.

Pertanyaan : “Bolehkah mempergunakan parfum, deodorant, pasta gigi, es krim, dan shampoo yang mengandung alkohol atau sabun yang mengandung minyak babi? Apakah khamr itu najis sebagaimana air seni dan daging serta roti yang tercampur minyak atau darah babi walaupun kadarnya rendah sekali? Kami mohon diberi fatwa karena kami ditugaskan belajar di Amerika dan seorang pelajar Amerika Muslim telah memperingatkan kami.”

Jawaban : “Pada asalnya segala sesuatu adalah halal dan suci. Maka tidak seseorang pun yang berhak menghukumi sesuatu itu haram dan najis kecuali dengan dalil syar’i. Kapan saja engkau yakin atau punya dugaan kuat bahwa daging dan roti yang halal bercampur dengan minyak ataupun darah babi maka engkau tidak boleh mengkonsumsinya. Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ telah menunjukkan atas diharamkannya daging babi. Dan para ulama telah berijma’ bahwa hukum lemak babi sama dengan hukum dagingnya. Adapun bila engkau tidak mengetahuinya maka engkau boleh memakan sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah halal hingga terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Fataawaa Islaamiyyah III:44)

Saudara pembaca yang budiman, telah jelaslah bagi kita dalil-dalil dan fatwa ulama tentang haramnya babi, daging, darah, dan lemaknya. Kita tidak boleh menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dengan tipuan karena upaya menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dengan cara tersebut adalah salah satu perbuatan Yahudi yang dilaknat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.Setiap Muslim diwajibkan untuk berhati-hati terhadap menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dengan berbagai makar dan tipu daya. Dan hendaknya dicamkan bahwa dia tidak akan selamat dari Allah atas segala makarnya, baik perkataan ataupun perbuatan. Ingatlah, Allah memiliki suatu hari di mana akan direndahkan orang-orang besar. Pada hari itu akan dibuka segala rahasia, akan diungkap segala isi hati, yang batil akan terlihat, yang rahasia menjadi terang, yang tertutup akan terbuka, yang tidak diketahui akan terlihat, segala isi hati akan dibongkar sebagaimana dibangkitkan dan dikeluarkannya segala isi kubur. Di sana berlaku hukum Allah berdasarkan tujuan dan niat sebagaimana telah berlaku hukum-Nya di dunia berdasarkan sisi zahir perkataan dan gerakan. Pada hari itu wajah-wajah akan menjadi cerah karena hati-hati mereka yang dipenuhi nasihat dari Allah, Rasul, dan Kitab-Nya dan dihiasi dengan kebajikan, kejujuran, dan keikhlasan kepada Dzat Yang Maha Besar dan Agung. Dan akan menghitam wajah orang-orang yang hatinya penuh dengan tipu daya, dusta, kecurangan, makar, dan rekayasa. Di sana para pendusta akan mengetahui bahwa mereka telah mendustai dirinya sendiri dan mempermainkan agamanya. Mereka tidak membuat makar kecuali hanya kepada dirinya sendiri dan mereka tidak sadar.” (I’laamul Muwaqqi’iin III:214-215)

Maka wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati dan mewaspadai fatwa sesat dan menyesatkan yang jauh dari dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salaf radliyallahu 'anhum.Akhirnya saya menyimpulkan bahwa tidak ada yang tersisa bagi Qaradhawi kecuali menghalalkan bagi Muslimin daging anjing, keledai piaraan, kera, kucing, gagak, rajawali, dan seluruh makanan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Berbagai upaya dan makar telah ditempuhnya untuk menghalalkan daging, lemak, dan minyak babi. Sedangkan dalil-dalil yang mengharamkan makanan tersebut ditepisnya dengan cara yang batil!!!

(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net) diambil dari www.salafy.or.id